coba klik salah satu icon di bawah gambar pasti seru

Sabtu, 10 Desember 2016

MITOLOGI TUMPENG PINGIT DI PURA GUMI BEBANDEM



  
Sebelum adanya Raja Bali menganugrahkan prasasti Bahung Teringan dan merestui kawasan menjadi Desa Adat Bahung Teringan, di kawasan ini telah ditemukan sebuah bangunan suci tempat pemujaan yang bernama Wihara Bahung. Wihara ini diyakini didirikan oleh seorang Brahmana Budha yang bernama Dangyang Dwijakangka yang berasal dari Kerajaan Kalingga (Jawa). Di tempat ini Danghyang Dwijakangka melakukan wana prasta nangun yoga semadi.
Setelah berjalan beberapa tahun, tidak ada yang mengetahui keberadaan Danghyang Dwijakangka. Krama desa juga tidak ada yang mengetahui kapan dan kemana Beliau pergi. Sejak saat itu krama desa yang berjumlah 40 orang tetap melakukan pemujaan di tempat itu. Pada suatu hari, ditempat itu terlihat seorang wanita yang memiliki wajah yang sangat cantik, menandingi wajah seorang bidadari. Krama desa tidak ada yang mengetahui, mereka pun bertanya siapa dan dari mana wanita cantik itu. Tidak ada seorang pun dari krama desa 40 orang yang berani menyapa wanita itu. Setelah berjalan beberapa waktu, wanita tersebut terlihat sedang mengandung. Krama desa semakin resah dengan keadaan tersebut, mengingat wanita itu tidak memiliki suami.
Diceritakan wanita cantik itu sedang hamil besar dan melahirkan anaknya di sungai dekat dengan Wihara Bahung (tepatnya di sungai krekuk yang berada disebelah timur wihara). Bayi tersebut dilahirkan di atas batu besar yang bentuknya pipih. Ketika bayi itu lahir, batu besar tersebut pecah. Tangisan bayi tersebut didengar oleh seorang laki-laki yang sedang nyeser (mencari ikan di sungai). Laki-laki tersebut bertanya kepada wanita cantik itu, akan tetapi beberapa pertanyaannya tidak dijawab. Pada akhirnya wanita cantik tersebut menghilang. Laki-laki itu bingung, dia berusaha untuk membersihkan bayi dengan air sungai yang datangnya dari barat laut hulu sungai. Bayi tersebut selanjutnya dipelihara dan diberi nama Teruna Gede Bagus. Bayi ini sangat berbeda dengan bayi kebanyakan. Dia memiliki kekuatan makan yang sangat luar biasa sampai pada akhirnya pengasuh bayi tersebut merasa kewalahan untuk memberikan makan. Pengasuh bayi tersebut mempunyai inisiatif untuk menyerahkan bayi tersebut kepada krama desa.  Namun desa adat juga mengalami kesulitan untuk memberikannya makanan.
Pada suatu hari, krama desa di bawah pimpinan Gede Pasek Tegeh yang didampingi oleh Ki Kebayan Sakti mengadakan pertemuan untuk membahas tentang Teruna Gede Bagus. Hasil pertemuan memutuskan bahwa krama desa sepakat akan mengadakan eka winaya untuk membunuh Teruna Gede Bagus tersebut ke dalam sebuah sumur. Teruna Gede Bagus dipanggil Jero Bendesa untuk membersihkan dirinya ke dalam sebuah sumur. Sebelum itu dia harus membuat sumur yang dalam sampai keluar air. Sumur itu berada di Pura Gumi, tepatnya di sebelah Timur Laut yaitu terletak di Pura Taman sekarang. Pada saat Teruna Gede Bagus itu sedang asyik membuat sumur, krama desa 40 yang berjumlah orang mengubur Teruna Gede Bagus di dalam sumur yang dibuatnya sampai rata dengan tanah.
Krama desa 40 orang pun istirahat sejenak. Namun, tiba-tiba bumi bergetar seperti adanya gempa yang sangat dahsyat. Bangunan suci pun runtuh semuanya. Tidak ada yang percaya kalau yang menyebabkan bumi bergetar adalah Teruna Gede Bagus yang semula dikubur di dalam sumur ternyata bisa meledakkan sumur dan dia bisa berdiri dengan tegak di atas sumur sambil tersenyum-senyum. Teruna Desa Bagus baru mengetahui, bahwa dirinya akan dibunuh di dalam sumur oleh krama desa. Akan tetapi Teruna Desa tidak bisa dibunuh dengan senjata, tidak bisa dibakar dengan api. Teruna Gede Bagus meminta kepada Jero Bendesa, “yen kenten tetujon desane, tiang nunas ring Jero Bendesa, yen sampun tiang tuun ring semere, derika praline tiang ngangen aksara. ring Jero Kebayan, buin pidan nyidaang desane mekarya meaci-aci, tangiang tiang aji Tumpeng lelima, pinaka perlambang linggan Panca Maha Mertha (kalau itu tujuan desa, saya minta kepada Jero Bendesa, kalau saya sudah turun ke sumur, disana bunuhlah saya dengan aksara. Untuk Jero Kebayan, kapan desa bisa melaksanakan upacara (aci-aci), pada saat itu buatkan saya dengan Tumpeng 5 buah, sebagai lambang Panca Maha Mertha). Selajutnya Teruna Gede Bagus turun ke dalam sumur, Jero Bendesa, Ki Kebayan Sakti dan krama desa mulai mempersiapkan upacara pralina (Sukarti, Wawancara 26 Juli 2012).
Setelah kejadian itu, desa mulai melakukan pertemuan untuk membahas pembangunan kahyangan di desa adat. Cerita tersebut merupakan asal mula pembuatan Tumpeng Pingit yang dipersembahkan pada acara Ngusaba Gumi di Desa Pakraman Bebandem. Tumpeng tersebut berjumlah 5 buah sebagai lambang Panca Maha Mertha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar