Sebelum adanya Raja Bali menganugrahkan prasasti Bahung Teringan dan
merestui kawasan menjadi Desa Adat Bahung Teringan, di kawasan ini telah
ditemukan sebuah bangunan suci tempat pemujaan yang bernama Wihara Bahung.
Wihara ini diyakini didirikan oleh seorang Brahmana Budha yang bernama
Dangyang Dwijakangka yang berasal dari Kerajaan Kalingga (Jawa). Di tempat ini
Danghyang Dwijakangka melakukan wana prasta nangun yoga semadi.
Setelah berjalan beberapa tahun, tidak ada yang mengetahui keberadaan
Danghyang Dwijakangka. Krama desa juga tidak ada yang mengetahui kapan
dan kemana Beliau pergi. Sejak saat itu krama desa yang berjumlah 40
orang tetap melakukan pemujaan di tempat itu. Pada suatu hari, ditempat itu
terlihat seorang wanita yang memiliki wajah yang sangat cantik, menandingi
wajah seorang bidadari. Krama desa tidak ada yang mengetahui, mereka pun
bertanya siapa dan dari mana wanita cantik itu. Tidak ada seorang pun dari krama
desa 40 orang yang berani menyapa wanita itu. Setelah berjalan beberapa
waktu, wanita tersebut terlihat sedang mengandung. Krama desa semakin
resah dengan keadaan tersebut, mengingat wanita itu tidak memiliki suami.
Diceritakan wanita cantik itu sedang hamil besar dan melahirkan anaknya di
sungai dekat dengan Wihara Bahung (tepatnya di sungai krekuk yang
berada disebelah timur wihara). Bayi tersebut dilahirkan di atas batu besar
yang bentuknya pipih. Ketika bayi itu lahir, batu besar tersebut pecah.
Tangisan bayi tersebut didengar oleh seorang laki-laki yang sedang nyeser
(mencari ikan di sungai). Laki-laki tersebut bertanya kepada wanita cantik itu,
akan tetapi beberapa pertanyaannya tidak dijawab. Pada akhirnya wanita cantik
tersebut menghilang. Laki-laki itu bingung, dia berusaha untuk membersihkan
bayi dengan air sungai yang datangnya dari barat laut hulu sungai. Bayi
tersebut selanjutnya dipelihara dan diberi nama Teruna Gede Bagus. Bayi ini
sangat berbeda dengan bayi kebanyakan. Dia memiliki kekuatan makan yang sangat
luar biasa sampai pada akhirnya pengasuh bayi tersebut merasa kewalahan untuk
memberikan makan. Pengasuh bayi tersebut mempunyai inisiatif untuk menyerahkan
bayi tersebut kepada krama desa.
Namun desa adat juga mengalami kesulitan untuk memberikannya makanan.
Pada suatu hari, krama desa di bawah pimpinan Gede Pasek Tegeh yang
didampingi oleh Ki Kebayan Sakti mengadakan pertemuan untuk membahas tentang Teruna
Gede Bagus. Hasil pertemuan memutuskan bahwa krama desa sepakat akan
mengadakan eka winaya untuk membunuh Teruna Gede Bagus tersebut
ke dalam sebuah sumur. Teruna Gede Bagus dipanggil Jero Bendesa untuk
membersihkan dirinya ke dalam sebuah sumur. Sebelum itu dia harus membuat sumur
yang dalam sampai keluar air. Sumur itu berada di Pura Gumi, tepatnya di
sebelah Timur Laut yaitu terletak di Pura Taman sekarang. Pada saat Teruna
Gede Bagus itu sedang asyik membuat sumur, krama desa 40 yang
berjumlah orang mengubur Teruna Gede Bagus di dalam sumur yang dibuatnya
sampai rata dengan tanah.
Krama desa 40 orang pun istirahat sejenak. Namun, tiba-tiba bumi bergetar seperti
adanya gempa yang sangat dahsyat. Bangunan suci pun runtuh semuanya. Tidak ada
yang percaya kalau yang menyebabkan bumi bergetar adalah Teruna Gede Bagus yang
semula dikubur di dalam sumur ternyata bisa meledakkan sumur dan dia bisa
berdiri dengan tegak di atas sumur sambil tersenyum-senyum. Teruna Desa
Bagus baru mengetahui, bahwa dirinya akan dibunuh di dalam sumur oleh krama
desa. Akan tetapi Teruna Desa tidak bisa dibunuh dengan senjata, tidak bisa
dibakar dengan api. Teruna Gede Bagus meminta kepada Jero Bendesa, “yen
kenten tetujon desane, tiang nunas ring Jero Bendesa, yen sampun tiang tuun
ring semere, derika praline tiang ngangen aksara. ring Jero Kebayan, buin pidan
nyidaang desane mekarya meaci-aci, tangiang tiang aji Tumpeng lelima, pinaka
perlambang linggan Panca Maha Mertha (kalau itu tujuan desa, saya minta
kepada Jero Bendesa, kalau saya sudah turun ke sumur, disana bunuhlah saya
dengan aksara. Untuk Jero Kebayan, kapan desa bisa melaksanakan upacara (aci-aci), pada saat itu
buatkan saya dengan Tumpeng 5 buah, sebagai lambang Panca Maha Mertha). Selajutnya Teruna Gede Bagus turun ke
dalam sumur, Jero Bendesa, Ki Kebayan Sakti dan krama desa mulai
mempersiapkan upacara pralina (Sukarti, Wawancara 26 Juli 2012).
Setelah kejadian itu, desa mulai melakukan pertemuan untuk membahas
pembangunan kahyangan di desa adat. Cerita tersebut merupakan asal mula
pembuatan Tumpeng Pingit yang dipersembahkan pada acara Ngusaba Gumi
di Desa Pakraman Bebandem. Tumpeng tersebut berjumlah 5 buah
sebagai lambang Panca Maha Mertha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar